Tampilkan postingan dengan label madinah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label madinah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 November 2017

Kisah Madinah di Kepung 10.000 Pasukan Kafir

Salman berasal dari Parsi atau Iran sekarang. Ia tidak puas dengan agama Majusi (menyembah bintang) yang dianut masyarakatnya. Ia lalu berkelana. Salman sempat mengikuti pendeta Nasrani di daerah Palestina sebelum kemudian tertipu dan dijual sebagai seorang budak. Namun kemudian ia menjadi seorang Muslim merdeka di Madinah. 

Kabar rencana Qurais menyerbu Madinah telah berhembus kencang. Salman mendengar pula kabar itu. Ia tahu, saudara-saudaranya sesama Muslim di Madinah merasa gentar dengan kabar tersebut. Bayang-bayang kekalahan di Perang Uhud belum lagi sirna. Apalagi kini Qurais tidak sendirian. Mereka dibantu oleh puak-puak Arab dari Ghatafan, serta jaringan intelijen Yahudi. Pasukan musuh diperkirakan mencapai jumlah 10 ribu orang. Di saat Muslim berkecil hati itu, Salman melontarkan gagasan untuk menggali parit di dataran pintu masuk Madinah. Itu strategi perang yang sama sekali belum dikenal masyarakat Arab. Rasul menyetujui gagasan itu. Maka, siang malam seluruh warga Madinah -termasuk Rasulullah maupun warga Yahudi-bekerja keras menggali parit tersebut. 


Selama enam hari, parit tersebut diselesaikan. Rumah-rumah di sisi parit dikosongkan. Para perempuan dan anak-anak diungsikan ke belakang. Batu-batu ditumpuk untuk senjata melawan musuh yang nekat melompati parit itu. Dengan demikian posisi Muslim di Madinah cukup aman. Di sebelah kanan terlindung gunung batu yang terjal, di depan terdapat parit besar yang akan membuat terperosok pasukan berkuda apalagi unta, di kiri terdapat bukit Sal. Di bukit inilah Muhammad bermarkas yang ditandai dengan keberadaan tenda merah miliknya. 


Musuh sebenarnya bisa masuk dari dataran di belakang. Tapi itu tak mungkin dilakukan. Di sana adalah pemukiman Yahudi Quraiza yang terikat perjanjian dengan Muhammad. Masyarakat Yahudi ini bertugas untuk mengatur kebutuhan makan bagi pasukan Muslim di garis depan. Segera pasukan musuh yang dikomandani Abu Sofyan tiba di Uhud. Mereka terkejut karena tak melihat satupun pasukan Muslim. Lebih terkejut lagi saat mereka melihat parit perlindungan di pintu masuk Madinah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain mengepung Madinah, dan membuat warga kota itu kelaparan. Namun yang demikian juga sulit dilakukan karena persediaan makanan di Madinah cukup untuk waktu yang relatif lama. Apalagi saat itu musim dingin. 


Sudah berhari-hari mereka mengepung. Tak ada perkembangan berarti. Ka'ab bin Akhtab --Yahudi penyusun rencana perang itu-lalu membujuk dua pihak. Yakni agar Qurais dan Ghatafan untuk tidak pulang. Ia minta waktu 10 hari lagi buat meyakinkan Yahudi Quraiza agar mengkhianati perjanjiannya dengan Muslimin. Warga Quraiza sempat ragu. Namun mereka pun memanfaatkan kesempatan. Yakni menuntut Muhammad agar memanggil kembali Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir yang telah diusir dari Madinah. Yahudi Quraiza bahkan menghentikan pasokan makanan pada kaum muslimin. 


Orang-orang Islam mulai menderita dengan sangat. Kelaparan di garis depan perang pada saat musim dingin membuat pasukan muslim berjatuhan sakit. Beberapa orang bahkan meninggal karena itu. Dua sahabat Rasul, Hasan bin Tsabit dan Shafia binti Abdul Muthalib telah memergoki Yahudi yang memata-matai posisi pasukan Muslim untuk dibocorkan pada musuh. Beberapa orang tentara lawan juga telah menerobos parit, di antaranya Amir anak Abdul Wudud, Ikrima anak Abu Jahal serta Dzirar bin Khattab. Untunglah Ali berhasil mematahkan perlawanan mereka. Muhammad menugasi dua pemimpin Muslim asli Madinah (Anshar) untuk menemui para pemimpin Quraiza agar menghentikan pengkhiatannya tersebut. Mereka adalah Sa'ad bin Mu'adz dari Bani Aus serta Sa'ad bin Ubadha dari Khazraj. Namun Yahudi Quraiza menampik keinginan itu. Mereka akan terus memboikot sampai tuntutannya dipenuhi. 


Keadaan umat Islam semakin parah. Muhammad lalu berdiri di bukit Sal dan berdoa praktis tanpa henti. Bahkan di saat udara sangat dingin menjelang dinihari menusuk-nusuk tulangnya. Menurut riwayat, pada hari ketiga -di saat kondisi Rasul itu sudah sangat menurun-tiba-tiba muncul badai dingin yang luar biasa. Masyarakat Muslim dapat berlindung di pemukimannya sendiri. Kaum Qurais dan kelompok-kelompok dari Ghatafan -yang dalam Quran disebut "Al-Ahzab"-yang berada di tempat terbuka menjadi sasaran badai itu. Pasukan itu hancur sama sekali. Masing-masing orang bersusah payah menyelamatkan diri. Usai peristiwa Khandaq, Muhammad menugaskan pasukan Muslim untuk mengepung Yahudi Quraiza atas pengkhiatannya. Setelah beberapa hari, Quraiza menyerah. Mereka minta agar hukuman yang dijatuhkan adalah pengusiran dari Madinah, sama dengan hukuman bagi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir terdahulu. 


Rasul mengatakan bahwa hukuman akan dijatuhkan oleh seorang hakim. Ia berjanji tidak akan intervensi atau campur tangan. Orang-orang Quraiza berhak memilih sendiri hakim tersebut. Saat itu pula, mereka memilih Sa'ad bin Mu'adz. Pemimpin suku Aus yang sempat ditugasi Muhammad untuk bernegosiasi dengan Quraiza itu sehari-hari memang cukup dekat dengan kalangan Yahudi. Namun, tanpa diduga oleh semua, Sa'ad justru menjatuhkan hukuman mati bagi semua laki-laki kelompok pengkhianat tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Para perempuan dan anak-anak dari keluarga Yahudi Quraiza itu lalu menjadi tanggungan umat Islam. Sejak saat itu, Madinah aman tenteram. Rasulullah lalu berkonsentrasi untuk membangun peradaban masyarakat. Sebuah peradaban yang menjadi model dasar bagi konsep "civil society" (masyarakat Madani) kini.

Rabu, 22 November 2017

Kisah Muhammad Saw Mempersatukan Masyarakat Mekah dan Madinah

Masa Awal di Madinah
Tak mudah bagi Rasulullah menjalani hari-hari pertamanya di Madinah. Berbagai masalah telah menghadang. Para pengikutnya asal Mekah, muhajirin, tak mempunyai makanan, apalagi pekerjaan. Antara Muhajirin dan Anshar dapat bersaing berebut hati Muhammad. Kaum Khazraj dan Aus masih mungkin bertikai lagi. Musuh setiap saat dapat menyerang. Baik kaum Qurais di Mekah, maupun Yahudi tetangga mereka sendiri. 


Di saat begitu pelik, Rasulullah mencetuskan gagasan. Sebuah gagasan cemerlang menurut ilmu strategi lantaran memenuhi kriteria "sangat sederhana" dan "sangat mudah dilaksanakan". Yakni mempersaudarakan satu orang dengan satu orang lainnya, tanpa peduli asal-usul Mekah atau Madinah serta dari keluarga manapun. Cara seperti itu sekarang dipakai dalam pelatihan atau 'training' yang dikembangkan masyarakat Barat. Mereka menggunakan istilah 'buddy system'. Setiap dua orang saling "menjaga" dengan cara membantu dan mengingatkan masing-masing. 


Dengan cara itu berbagai persoalan teratasi sekaligus. Mereka tinggal memusatkan perhatian pada berbagai persoalan di depan. Muhammad "bersaudara" dengan Ali. Hamzah dengan Zaid yang dulu menjadi budaknya. Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid. Umar dengan Ithban bin Malik. 


Satu riwayat menjelaskan pola persaudaraan itu. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang Anshar -warga asli Madinah- Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad menawarkan separuh hartanya, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sana, ia berdagang mentega dan keju sehingga sukses besar. Kisah lain menyebutkan bahwa Abdurrahman juga dipinjami uang. Dengan uang itu ia membeli sebidang tanah di samping pasar yang telah ada. 


Saat itu, pasar yang ada adalah milik seorang Yahudi dengan konsep serupa mal sekarang. Pedagang boleh berjualan di pasar itu dengan menyewa tempat pada pemilik tanah. Abdurrahman lalu membuat pengumuman bahwa siapa saja boleh berdagang di tanahnya tanpa harus menyewa. Hanya bila untung, pedagang menyisihkan sebagian uang ("fee" atau "bagi hasil") bagi Abdurrahman selaku pemilik tanah. Bila tidak ada keuntungan mereka tak perlu membayar apapun. 


Sontak, hampir semua pedagang pindah ke "pasar" Abdurrahman bin Auf. Bagi mereka, sistem ini lebih adil dan tak merugikan pedagang sama sekali. Maka, konsep Abdurrahman bin Auf ini menjadi salah satu rujukan bagi pengembangan sistem ekonomi syariah sekarang. 


Muhammad lalu membangun budi pekerti atau akhlak masyarakat. Ia percaya, itulah pondasi untuk membangun masyarakat. Ia tekankan pentingnya semua orang untuk berlaku santun dan saling menghormati. Ia tunjukkan keutamaan manusia untuk bekerja dan bukan meminta-minta. Ia tegaskan "tangan di atas (memberi) lebih baik dari tangan di bawah (menerima)." Juga keharusan untuk membantu tetangga atau orang kesusahan tanpa melihat suku maupun agama. Muhammad bahkan melarang pengikutnya untuk menghormati dirinya secara berlebihan. Ia tak mau dihormati berlebihan seperti penghormatan yang diberikan pada Nabi Isa. 


Pada masa inilah, ibadah ritual diajarkan. Mulai dari salat, puasa hingga zakat. Rasul juga menyeru pentingnya salat berjamaah. Lalu ia dan para sahabat berdiskusi soal bagaimana mengingatkan datangnya waktu salat. Ada usulan agar menggunakan terompet seperti Yahudi. Atau dengan lonceng seperti kaum Nasrani. Namun kemudian Rasul meminta Bilal -melalui Abdullah bin Zaid- untuk menyerukan azan. Sejak itu, setiap waktu salat tiba, Bilal selalu berdiri di atap rumah seorang perempuan Banu Najjar di samping masjid untuk menyeru azan. Tempat itu lebih tinggi ketimbang atap masjid. 


Rasul pun membangun Madinah sebagai sebuah 'Republik kota'. Untuk itu ia merumuskan deklarasi yang mengikat seluruh warga. Isi deklarasi yang sangat menyeluruh itu antara lain adalah jaminan bagi "kebebasan beragama". Mula-mula, deklarasi ditandatangani bersama Yahudi Bani Auf. Kemudian juga dengan Bani Quraiza, Bani Nadzir dan Qainuqa. 


Hubungan harmonis Muslim-Yahudi tersebut menarik perhatian kalangan Nasrani. Saat itu, di kancah global, Nasrani mengusai peta politik melalui dominasi Kerajaan Romawi. Rombongan kaum Nasrani dari Najjran -yang disebut menggunakan "60 kendaraan"-pun berkunjung ke Madinah. Maka terjadilah dialog antar agama yang langsung melibatkan Rasulullah. 


Namun, hubungan antar agama tak selalu mulus. Para pemuka Yahudi acap melancarkan polemik terhadap Islam. Mereka menguasai dalil-dalil yang diturunkan oleh Musa. Mereka juga lebih berpendidikan ketimbang orang-orang Qurais di Mekah. Muhammad kini menghadapi tantangan baru yang lebih sulit: perang wacana atau argumentasi. Sebuah tantangan serupa yang harus dihadapi umat Islam di abad 21 ini. 


Saat itu Muslim dan Yahudi sama-sama menghadap Baitul Maqdis-Yerusalem, dalam beribadah. Allah kemudian menurunkan wahyu agar Umat Islam beralih untuk menghadapkan wajah ke Ka'bah di Mekah. Wahyu tersebut turun saat Muhammad tengah salat dhuhur berjamaah di rumah seorang janda tua. Muhammad dan beberapa sahabat datang untuk menghibur perempuan yang baru ditingal mati keluarganya itu. Konon, Muhammad hendak pulang sebelum dhuhur. Namun perempuan itu menahannya, meminta Muhammad untuk menunggu makan siang yang tengah disiapkannya. 


Seperti biasanya, Muhammad salat menghadap ke Yerusalem, dari Madinah ke arah utara. Begitu wahyu tersebut turun di tengah salat, Muhammad membalikkan badan menghadap ke selatan, ke arah Ka'bah di Mekah. Rumah perempuan itu sekarang menjadi Masjid Kiblatain -atau masjid dengan dua kiblat di Madinah.

Senin, 13 November 2017

Kisah Menegangkan Muhammad SAW hijrah ke Madinah

Drama Hijrah
Haekal melukiskan kisah ini sebagai "kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman".
Yatsrib atau Madinah sudah pasti menjadi masa depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan muslimin telah menyelinap pergi ke sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli. Perhatian mereka pada Muhammad yang masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan lolos. Padahal Muhammad telah siap untuk pergi. Abu Bakar telah menyiapkan dua unta baginya dan bagi Muhammad. Unta itu dipelihara Abdullah bin Uraiqiz. 


Sampai pada harinya, perintah Allah untuk hijrah pun turun. Muhammad memberi tahu Abu Bakar. Para pemuda Qurais juga semakin ketat memata-matai rumah Muhammad. Mereka sesekali mengintip ke dalam rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat tidurnya. Namun Muhammad meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari Hadramaut serta tidur di dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir Muhammad masih tidur. Ketika esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul, mereka hanya mendapati Ali yang mengaku tak tahu menahu tentang keberadaan Muhammad. 


Malam itu, Muhammad telah menyelinap dari jalan belakang. Bersama Abu Bakar, ia berjalan mengendap dalam gelap, menuju sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan cerdik. Kaum Qurais tentu menduga Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah. Muhammad malah melangkah ke selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa Muhammad tetap menggunakan nalar yang wajar sebagai manusia. Jika mau, ia dapat meminta perlindungan Allah berwujud kesaktian seperti yang dikejar-kejar banyak manusia sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama untuk kepentingan semacam itu. 


Muhammad dan Abu Bakar hanya menjalankan siasat biasa. Dalam persembunyiannya, mereka tetap memasang telinga melalui Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di Mekah. Setiap malam, Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan suasana serta mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya, Asma. Setiap pagi, pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala kambing menghapus jejak itu. 


Tiga malam mereka bersembunyi di gua itu. Satu riwayat menyebut sejumlah pemuda Qurais telah mencapai bibir gua. Abu Bakar gemetar meringkuk di sisi Muhammad. Saat itu, Muhammad berbisik. "La tahzan, innallaaha ma'ana (Jangan sedih, Allah bersama kita) ". Rasul juga menghibur dengan kata-kata, "Abu Bakar, kalau kau menduga kita hanya berdua, Allah-lah yang ketiga." Orang-orang Qurais itu lalu pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta burung merpati mengerami telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad bersembunyi di situ. 


Setelah aman, Abdullah bin Uraiqiz membawa keluar mereka. Tiga unta beriringan ke Barat, berbekal makanan yang diikat dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar disebut membawa seluruh uang simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan berputar menuju arah Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling jarang dilalui manusia. Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke Yatsrib, menapaki terik gurun. Siang-malam mereka terus berjalan. 


Kaum Qurais membuat sayembara dengan hadiah 100 unta bagi yang dapat menangkap Muhammad. Suraqa bin Malik tergiur iming-iming itu. Ketika mendengar info ada tiga orang berunta beriringan, ia mengelabui kawan-kawannya. "O.. itu adalah si anu," begitu kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu kudanya sendirian mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga kudanya tersungkur. Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan Muhammad. Suraqa lalu menyerah karena menganggap dirinya tengah sial. 


Dua pekan kemudian, Muhammad tiba di Quba -desa perkebunan kurma di luar kota Yatsrib. Ia tinggal di sana selama empat hari dan membangun masjid sederhana. Di sana pula Muhammad bertemu kembali dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib. Mereka kemudian berjalan bersama menuju kota, dan disambut sangat meriah oleh warga Yatsrib dengan bacaan salawat. Orang-orang Arab -baik yang Islam maupun penyembah berhala-serta orang-orang Yahudi tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan. 


Orang-orang berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat itu milik siapa. Ma'adh bin Afra menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail -dua orang yatim dari Banu Najjar. 


Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid. Hanya sebagian dari ruangan masjid itu yang beratap. Di sanalah orang-orang miskin --dari berbagai tempat yang datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam-- kemudian ditampung. Muhammad membangun rumah kecil bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah. Sedangkan rumah tinggalnya menjadi tempat makam Rasul yang kini berada di dalam masjid Nabawi. 


Pada usia 53 tahun -setelah 13 tahun masa kerasulannya serta membangun pondasi keislaman-Muhammad membuat langkah besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun mengantarkannya menjadi pemimpin utuh. Pemimpin keagamaan, kemasyarakatan juga politik. Peristiwa pada tahun 623 Masehi itu sekaligus mengajarkan keharusan umat Islam untuk berani menempuh langkah besar untuk mencari lingkungan atau lahan baru yang memungkinkan benih kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.